A. BEBERAPA FAKTA SEJARAH
Pertama
Wafatnya Abu Thalib pada tahun kesepuluh
kenabian Muhammad. Selaina hayatnya, Abu Thalib merupakan pembela Nabi yang
gigih, sehingga orang-orang kafir Quraisy tidak berani mengganggu atau
menyakiti Nabi secara langsung. Abu Thalib adalah seorang yang terhormat di
kalangan mereka. Setelah wafatnya, mulailah. orang-orang Quraisy
menghalangi dan menggartggu Nabi. Sehingga Nabi sangat berduka dengan kemati n
pantannya itu.
Akan tetapi sungguhpun begitu, Abu Thalib
hingga menghembuskan nafas terakhir tetap saja tidak mau mengucapkan dua
kalimat syahadat, karena ingin mempertahankan wibawa Bani Muthallib di mata
masyarakat Quraisy secara keseluruhan.
Kedua
Pada tahun yang sama wafat pula isterinya, Khadijah. Dia
adalah srikandi yang mampu meringankan penderitaan Nabi, disebabkan
tindakan kasar orang-orang kafir Quraisy. Tentu kematiannya juga menimbulkan rasa sedih yang
mendalam di hati Nabi Muhammad Saw.
Dengan wafatnya dua orang pembela ini, dinaamailah tahun kesepuluh itu dengan sebutan
tahun dukacita (amul hazni).
Ketiga
Dengan makin meningkatnya gangguan dan
teror serta siksaan kafir Quraisy terhadap kaum Muslimin, maka hijrahlah Nabi
ke Thaif, dengan harapan akan memperoleh pertolongan serta penerimaan yang
sebaik-baiknya dan orang-orang Bani Tsaqif di situ.
Akan tetapi kenyataan justru sebaliknya,
orang-orang sana mengerahkan anak-anak agar melemparinya dengan batu,
sehingga Nabi menderita luka-luka karenanya. Melihat keadaan demikian, Nabi
pun berlindung di dalam sebuah kebun dan berdo’a kepada Allah Swt.
Do’a dimaksud berbunyi:
“Wahai Tuhanku,
kepada-Mu hamba mengadukan lemahnya kekuatanku, sempitnya upayaku dan hinanya
aku di mata manusia.
Wahai Tuhan, Engkaulah
yang lebih pengasih dan semua pengasih, Engkaulah pelindung onang-onang yang
lemah dan Engkaulah Tuhanku.
Kepada siapakah Engkau
akan men yerahkan din hamba mi ? Kepada yang jauh dan menghadapiku den gan muka masamkah, atau kepada
musuh yang membenciku?
Kalau Engkau tiada
memunkaiku, tiadalah men gapa. Tetapi maafmulah yang sangat kudambakan.
Aku benlindung di bawah
nun-Mu yang menerangi semua kegelapan, dan atasnyalah urusan dunia dan akhi rat
akan men jadi baik, agar janganlah kiranya Engkau tununkan murka-Mu kepadaku.
Untukmulah aku nela
dihinakan, asal saja Engkau masih mencintaiku.
Dan tiada daya dan
upaya, tiada kekuatan, kecuali dan-Mu.”
Pelajaran:
Pertama
Seorang da’i boleh saja mengangkat salah
seorang anggota keluarganya sebagai pelindung, manakala ia bersedia membela pribadi
sang da’i, walaupun dia belum mau menerima isi da’wah sendiri. Fanatisme
kesukuan atau kekeluargaan boleh saja dimanfaatkan sejauh tidak menggerogoti
da’i dan ajaran-ajaran yang dida’wahkannya. Dengan kata lain sejauh tidak menimbulkan
kemungkaran-kemungkaran.
Kedua
Isteri yang saleh dan yakin akan kebenaran
apa yang dida’wahkan suaminya, akan dapat meringankan kesulitan-kesulitan yang
menghalangi da’wah itu, kalau saja dia terlibat dalam cita-cita da’wah itu. Hal
ini akan membantu mengatasi kesu-litan-kesulitan yang
melanda sang suami, sang da’i itu, sehingga dia semakin berketetapan hati untuk
meneruskan cita-cita da’wah. Apa yang telah dilakukan oleh Sayyidatina
Khadijah terhadap Rasulullah Saw. tidak urung lagi merupakan keteladan tentang
bagaimana peran yang dapat dimainkan oleh sang isteri, dalam membela da’wah
untu.k kebenaran dan kebaikan. Peran yang diambil oleh sang isteri dimaksud
tentulah menunjang kesuksesan sang da’i di satu pihak, dan membuatnya
bersemangat untuk terĂ¼s menjalankan da’wahnya di lain pihak.
Ketiga
Sedih karena ditinggal pembela da’wah betapapun
sang pembela itu belum beriman terhadap kebenaran isi da’wah dimaksud, dan
sedih karena ditinggalkan sang isteri yang sudah beriman dan ikut bertanggung
jawab terhadap kesuksesan da’wah, tentulah merupakan kesedihan yang timbul dari
sikap ikhlas dan tulus dalam menjalankan da’wah, dan merupakan tanda
penghargaan sang da’i untuk sang isteri yang sanggup berkorban demi kepentingan
yang sama. Inilah dasarnya mengapa Nabi Muhammad Saw. selalu mendoakan Abu
Thalib yang meninggal dalam keadaan belum mengikrarkan dua kalimat syahadat.
Tersebutlah dalam suatu riwayat, Nabi mengucapkan kata-kata sebagai benikut:
“Mudah-mudahafl Allah memberikan nahmat dan ampunan-Nya
bagimu (Abu Thalib). Aku
akan selalu menzintakan ampun untukmu, hingga Allah men cegahku.”
Hadits ini pada masa selanjutnya, dijadikan sebagai dasar
hukum oleh kaum Muslimin tentang bolehnya mendoakan nenek moyangnya yang
sudah meninggal, tapi belum masuk Islam. Akan tetapi kebiasaan
seperti ini dilarang oleh Allah Swt. melalui
firman-Nya: -
“Tiadalah sepatutnya
bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan kepada Allah untuk orang-orang
yang Syirik, walau pun mereka itu kaum kerabatnya sendini, sesudah jelas bagi
meneka, orangorang Musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam.” (At-Taubah: 113)
Dapat dimaklumi jika Rasulullah Saw.
selama hayatnya, senantiasa mengenang jasa-jasa Khadijah, selalu memperlihatkan
kasih sayang dan selalu baik kepada sahabat-sahabatnya semasa hidupnya. Siti
Aisyah sendiri merasa cemburu lantaran seringnya Nabi menyanjung-nyanjung
Khadijah yang justru telah berpulang itu. Imam Bukhani meriwayatkan pertanyaan
Aisyah itu, sebagai benikut:
Aisyah mengatakan: “Cemburuku kepada
isteri-isteri Rasulullah yang lain tidaklah sebesar cemburuku kepada Siti
Khadijah. Memang aku
tidak sempat bertemu muka dengannya, tetapi Nabi sering menyebutnya. Beliau
pernah memotong kambing, dan setelah dipotong-potong dibagikan nyalah dagingnya
kepada sahabat-sahabat Khadijah. Pernah aku mengatakan kepadanya agaknya beliau
(Khadijah) itu merupakan satu-satunya wanita di dunia mi, ya Rasulullah. Nabi menjawab celotehku itu
dengan mengatakan seorang wanita yang demikian
demikian demikian, dan saya
dikaruniai keturunan darinya.”
Keempat
Hijrah Rasulullah ke Thaif, setelah
penduduk Makkah tak berkenan kepadanya, menandakan kesungguhan dan kemauan
keras Nabi untuk meneruskan da’wahnya dan menyatakan, beliau tidak mengenal
putus asa, di satu sisi, serta tidak kehilangan akal untuk mencari lapangan
(medan) da’wah yang baru, di lain sisi. Kalau begitu arti yang dapat ditangkap
dari kehijrahan tersebut, maka lain halnya dengan arti yang terkandung dalam
peristiwa pengerahan anak-anak untuk menghajar Nabi ketika berada di Thaif.
Pengerahan mi mengandung makna, kejahatan selalu dilakukan dengan menunggangi
orang-orang yang tidak mengerti apa-apa.
Seterusnya mengalirnya darah dan kaki Nabi
Saw. merupakan peristiwa yang meringankan para da’i akan perlunya ketangguhan
mental dalam melaksanakan da’wah kepada yang haq. Sebab tugas mi selalu dihadapkan kepada tantangan dan gangguan
fisik.
Begitulah kesungguhan Rasulullah Saw.
mengemban misi suci dan Allah Swt. ditengahtengah berbagai kesukaran, suatu
keseriusan yang dicerminkannya dalam doanya ketika menyelamatkan diri di dalam
kebun. Rasulullah tidak berkeberatan terhadap segala siksaan yang diterimanya,
tetapi justru kemurkaan Allah sajalah yang ia takuti. Ia hanya berkepentingan
untuk memperoleh ridha Allah, tidak ridhanya para pemimpin dan pembesar negara
dan kerajaan, dan tidak juga keridhaan masyarakat umum dan orang-orang yang
degil.
Kelima
Mukjizat Isra’ Mi’raj itu mengandung
beberapa rahasia. Tetapi di
sini akan kita lihat tiga saja yaitu:
1. Masalah Masjid
Al-Aqsha dan sekitarnya (palestina) berkaitan dengan persoalan dunia Islam.
Oleh karena Makkah telah menjadi pusat dunuia Islam dan merupakan lambang
persatuan, dan membela Palestina adalah juga berarti membela Islam, maka
setiap Muslim wajib melakukan pembelaan itu. Sebaliknya melalaikan pembelaan,
berarti mengenyampingkan Islam, yang dengan sendirinya akan merupakan dosa yang
akan mengundang murka Allah kepada kaum Mukminin seluruh dunia.
2. Mu’jizat Isra’dan
Mi’raj ini menandakan ketinggian martabat kaum Muslimin, wajibnya
mengutamakan
Islam daripada tuntutan hawa nafsu duniawi dan menegaskan pula, ketinggian
kedudukan dan martabat serta cita-cita Islam itu merupakan monopoli kaum
Muslimin.
3. Mengisyaratkan
mungkmnnya dilakukan penjelajahan ke luar angkasa sepanjang sejarah. Disamping
itu diisyaratkan pula mungkinnya kembali dan penjelajahan angkasa luar ke
planet bumi ini dalam keadaan selamat. Kalau Rasulullah Saw. dulu mengalami hal
itu dengan mu’jizatnya, maka bagi manusia biasa hal tersebut hanya mungkin
dengan ilmu dan pemikiran.
Keenam
Diwajibkannya shalat pada waktu Isra’
Mi’raj mengandung hikmah, shalat itu merupakan Mi’raj bagi orang yang beriman.
Seakan Allah hendak mengatakan kepada manusia, kalau Mi’rajnya Rasulullah
dijalaninya dengan jasad dan rohnya, maka kamu (kaum Muslimin) hendaknya
menjadikan shalat lima waktu sehari semalam itu sebagai Mi’rajmu, dengan roh
dan kalbumu naik kepada-Ku. Dan hendaklah pendakian spiritualmu itu merupakan
usaha melampaui nafsu syahwat dan penyaksian sebagian tanda-tanda keagungan,
kekuasaan dan keesaan-Ku. Sebab dengan cara itu sajalah kamu sekalian
dimungkinkan menjadi pengendali segala sesuatu yang ada di bumi ini. Tidak dengan jalan perbudakan, paksaan ataupun
peperangan, melainkan dengan jalan yang baik dan mulia.
Ketujuh
Kontak yang dilakukan
Rasulullah dengan jamaah haji setiap tahun itu menandakan seorang
da’i tidak sepantasnya membatasi sasaran dan lingkup da’wahnya sekitar
orang-orang yang ada di sekelilingnya saja. Sebaliknya ia harus menjangkau
tempat-tempat orang-orang berkumpul atau mungkin berkumpul di situ. Juga tidak
pantas kalau ia cepat putus asa, karena orang-orang enggan menerima ajakannya.
Sebab Allah telah mempersiapkan pengikut-pengikut setia yang tidak terduga
sebelumnya. Dan seringkali sekelompok kecil orang justru berperan besar dalam
mensukseskan da’wah dan memerangi kejahatan, berikut pecinta-pecintanya.
Imannya tujuh orang yang dijumpai Nabi di
Aqabah misalnya, ternyata merupakan cikal bakal kaum Anshar, yang di samping
menjadi penolong kalangan Muhajirin, juga menjadi landasan yang kokoh bagi
berdirinya negara yang memprogramkan penghapusan Syinik dan Musyrik, untuk
selanjutnya membangun kekuasaan iman yang kekal abadi.
REFERENSI
a.
As-Sirah
An-Nabawiyah Durusun wa ‘Ibar, karya DR. Musthafa
As-Siba’
b.
Sirah
nabawiyah -
Ibnu Hisyam
c.
Zaadul
ma'ad - Ibnul Qayim
d.
Arrahiqul
makhtum -
Al Mubarak Furi
e.
Nurul
Yaqin -
Khudhari
f. Assirah Annabawiyah - Ibnu Katsir
No comments:
Post a Comment