Friday, September 13, 2013

DARI HIJRAH KE HABASYAH HINGGA KE MADINAH

A. BEBERAPA FAKTA SEJARAH

Pertama
Wafatnya Abu Thalib pada tahun kesepuluh kenabian Muhammad. Selaina hayatnya, Abu Thalib merupakan pembela Nabi yang gigih, sehingga orang-orang kafir Quraisy tidak berani mengganggu atau menyakiti Nabi secara langsung. Abu Thalib adalah seorang yang terhormat di kalangan mereka. Setelah wafatnya, mulailah. orang-orang Quraisy menghalangi dan menggartggu Nabi. Sehingga Nabi sangat berduka dengan kemati n pantannya itu.
Akan tetapi sungguhpun begitu, Abu Thalib hingga menghembuskan nafas terakhir tetap saja tidak mau mengucapkan dua kalimat syahadat, karena ingin mempertahankan wibawa Bani Muthal­lib di mata masyarakat Quraisy secara keseluruhan.

Kedua
Pada tahun yang sama wafat pula isterinya, Khadijah. Dia adalah srikandi yang mampu meringankan penderitaan Nabi, disebabkan tindakan kasar orang-orang kafir Quraisy. Tentu kematiannya juga menimbulkan rasa sedih yang mendalam di hati Nabi Muhammad Saw.
Dengan wafatnya dua orang pembela ini, dinaa­mailah tahun kesepuluh itu dengan sebutan tahun dukacita (amul hazni).

Ketiga
Dengan makin meningkatnya gangguan dan teror serta siksaan kafir Quraisy terhadap kaum Muslimin, maka hijrahlah Nabi ke Thaif, dengan harapan akan memperoleh pertolongan serta peneri­maan yang sebaik-baiknya dan orang-orang Bani Tsaqif di situ.
Akan tetapi kenyataan justru sebaliknya, orang-­orang sana mengerahkan anak-anak agar melempari­nya dengan batu, sehingga Nabi menderita luka-­luka karenanya. Melihat keadaan demikian, Nabi pun berlindung di dalam sebuah kebun dan berdo’a kepada Allah Swt.

Do’a dimaksud berbunyi:
“Wahai Tuhanku, kepada-Mu hamba mengadukan lemahnya kekuatanku, sempitnya upayaku dan hinanya aku di mata manusia.
Wahai Tuhan, Engkaulah yang lebih pengasih dan semua pengasih, Engkaulah pelindung onang-onang yang lemah dan Engkaulah Tuhanku.
Kepada siapakah Engkau akan men yerahkan din hamba mi ? Kepada yang jauh dan menghadapiku den gan muka masamkah, atau kepada musuh yang membenciku?
Kalau Engkau tiada memunkaiku, tiadalah men gapa. Tetapi maafmulah yang sangat kudambakan.
Aku benlindung di bawah nun-Mu yang menerangi semua kegelapan, dan atasnyalah urusan dunia dan akhi rat akan men jadi baik, agar janganlah kiranya Engkau tununkan murka-Mu kepadaku.
Untukmulah aku nela dihinakan, asal saja Engkau masih mencintaiku.
Dan tiada daya dan upaya, tiada kekuatan, kecuali dan-Mu.”

Pelajaran:

Pertama
Seorang da’i boleh saja mengangkat salah seorang anggota keluarganya sebagai pelindung, manakala ia bersedia membela pribadi sang da’i, walaupun dia belum mau menerima isi da’wah sendiri. Fanatisme kesukuan atau kekeluargaan boleh saja dimanfaatkan sejauh tidak menggerogoti da’i dan ajaran-ajaran yang dida’wahkannya. Dengan kata lain sejauh tidak menimbulkan kemungkaran-­kemungkaran.

Kedua
Isteri yang saleh dan yakin akan kebenaran apa yang dida’wahkan suaminya, akan dapat meringan­kan kesulitan-kesulitan yang menghalangi da’wah itu, kalau saja dia terlibat dalam cita-cita da’wah itu. Hal ini akan membantu mengatasi kesu-litan­-kesulitan yang melanda sang suami, sang da’i itu, sehingga dia semakin berketetapan hati untuk meneruskan cita-cita da’wah. Apa yang telah dilaku­kan oleh Sayyidatina Khadijah terhadap Rasulullah Saw. tidak urung lagi merupakan keteladan tentang bagaimana peran yang dapat dimainkan oleh sang isteri, dalam membela da’wah untu.k kebenaran dan kebaikan. Peran yang diambil oleh sang isteri dimak­sud tentulah menunjang kesuksesan sang da’i di satu pihak, dan membuatnya bersemangat untuk terĂ¼s menjalankan da’wahnya di lain pihak.

Ketiga
Sedih karena ditinggal pembela da’wah beta­papun sang pembela itu belum beriman terhadap kebenaran isi da’wah dimaksud, dan sedih karena ditinggalkan sang isteri yang sudah beriman dan ikut bertanggung jawab terhadap kesuksesan da’wah, tentulah merupakan kesedihan yang timbul dari sikap ikhlas dan tulus dalam menjalankan da’­wah, dan merupakan tanda penghargaan sang da’i untuk sang isteri yang sanggup berkorban demi kepentingan yang sama. Inilah dasarnya mengapa Nabi Muhammad Saw. selalu mendoakan Abu Thalib yang meninggal dalam keadaan belum mengikrarkan dua kalimat syahadat. Tersebutlah dalam suatu riwayat, Nabi mengucapkan kata-kata sebagai benikut:
             
“Mudah-mudahafl Allah memberikan nahmat dan ampunan-Nya bagimu (Abu Thalib). Aku akan selalu menzintakan ampun untukmu, hingga Allah men cegahku.”


Hadits ini pada masa selanjutnya, dijadikan sebagai dasar hukum oleh kaum Muslimin tentang bolehnya mendoakan nenek moyangnya yang sudah meninggal, tapi belum masuk Islam. Akan tetapi kebiasaan seperti ini dilarang oleh Allah Swt. melalui
   firman-Nya:                                   -


“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan kepada Allah untuk orang-orang yang Syirik, walau pun mereka itu kaum kerabatnya sendini, sesudah jelas bagi meneka, orang­orang Musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam.” (At-Taubah: 113)

Dapat dimaklumi jika Rasulullah Saw. selama hayatnya, senantiasa mengenang jasa-jasa Khadijah, selalu memperlihatkan kasih sayang dan selalu baik kepada sahabat-sahabatnya semasa hidupnya. Siti Aisyah sendiri merasa cemburu lantaran seringnya Nabi menyanjung-nyanjung Khadijah yang justru telah berpulang itu. Imam Bukhani meriwayatkan pertanyaan Aisyah itu, sebagai benikut:
Aisyah mengatakan: “Cemburuku kepada isteri­-isteri Rasulullah yang lain tidaklah sebesar cemburuku kepada Siti Khadijah. Memang aku tidak sempat bertemu muka dengannya, tetapi Nabi sering menyebutnya. Beliau pernah memotong kambing, dan setelah dipotong-potong dibagikan nyalah dagingnya kepada sahabat-sahabat Khadijah. Pernah aku mengatakan kepadanya agaknya beliau (Khadijah) itu merupakan satu-satunya wanita di dunia mi, ya Rasulullah. Nabi menjawab celotehku itu dengan mengatakan seorang wanita yang demikian  demikian   demikian, dan saya dikaruniai keturunan darinya.”

Keempat
Hijrah Rasulullah ke Thaif, setelah penduduk Makkah tak berkenan kepadanya, menandakan kesungguhan dan kemauan keras Nabi untuk meneruskan da’wahnya dan menyatakan, beliau tidak mengenal putus asa, di satu sisi, serta tidak kehilangan akal untuk mencari lapangan (medan) da’wah yang baru, di lain sisi. Kalau begitu arti yang dapat ditangkap dari kehijrahan tersebut, maka lain halnya dengan arti yang terkandung dalam peristiwa pengerahan anak-anak untuk menghajar Nabi ketika berada di Thaif. Pengerahan mi mengandung makna, kejahatan selalu dilakukan dengan menunggangi orang-orang yang tidak mengerti apa-apa.
Seterusnya mengalirnya darah dan kaki Nabi Saw. merupakan peristiwa yang meringankan para da’i akan perlunya ketangguhan mental dalam melaksanakan da’wah kepada yang haq. Sebab tugas mi selalu dihadapkan kepada tantangan dan gang­guan fisik.
Begitulah kesungguhan Rasulullah Saw. mengemban misi suci dan Allah Swt. ditengah­tengah berbagai kesukaran, suatu keseriusan yang dicerminkannya dalam doanya ketika menyelamat­kan diri di dalam kebun. Rasulullah tidak berkebera­tan terhadap segala siksaan yang diterimanya, tetapi justru kemurkaan Allah sajalah yang ia takuti. Ia hanya berkepentingan untuk memperoleh ridha Allah, tidak ridhanya para pemimpin dan pembesar negara dan kerajaan, dan tidak juga keridhaan ma­syarakat umum dan orang-orang yang degil.

Kelima
Mukjizat Isra’ Mi’raj itu mengandung beberapa rahasia. Tetapi di sini akan kita lihat tiga saja yaitu:

1.      Masalah Masjid Al-Aqsha dan sekitarnya (pa­lestina) berkaitan dengan persoalan dunia Is­lam. Oleh karena Makkah telah menjadi pusat dunuia Islam dan merupakan lambang persatuan, dan membela Palestina adalah juga berarti membela Is­lam, maka setiap Muslim wajib melakukan pembela­an itu. Sebaliknya melalaikan pembelaan, berarti mengenyampingkan Islam, yang dengan sendirinya akan merupakan dosa yang akan mengundang murka Allah kepada kaum Mukminin seluruh dunia.

2.      Mu’jizat Isra’dan Mi’raj ini menandakan keting­gian martabat kaum Muslimin, wajibnya
mengutamakan Islam daripada tuntutan hawa nafsu duniawi dan menegaskan pula, ketinggian kedudu­kan dan martabat serta cita-cita Islam itu merupakan monopoli kaum Muslimin.

3.      Mengisyaratkan mungkmnnya dilakukan penje­lajahan ke luar angkasa sepanjang sejarah. Disamping itu diisyaratkan pula mungkinnya kembali dan penjelajahan angkasa luar ke planet bumi ini dalam keadaan selamat. Kalau Rasulullah Saw. dulu mengalami hal itu dengan mu’jizatnya, maka bagi manusia biasa hal tersebut hanya mungkin dengan ilmu dan pemikiran.

Keenam
Diwajibkannya shalat pada waktu Isra’ Mi’raj mengandung hikmah, shalat itu merupakan Mi’raj bagi orang yang beriman. Seakan Allah hendak me­ngatakan kepada manusia, kalau Mi’rajnya Rasu­lullah dijalaninya dengan jasad dan rohnya, maka kamu (kaum Muslimin) hendaknya menjadikan shalat lima waktu sehari semalam itu sebagai Mi’raj­mu, dengan roh dan kalbumu naik kepada-Ku. Dan hendaklah pendakian spiritualmu itu merupakan usaha melampaui nafsu syahwat dan penyaksian sebagian tanda-tanda keagungan, kekuasaan dan keesaan-Ku. Sebab dengan cara itu sajalah kamu sekalian dimungkinkan menjadi pengendali segala sesuatu yang ada di bumi ini. Tidak dengan jalan perbudakan, paksaan ataupun peperangan, melain­kan dengan jalan yang baik dan mulia.

Ketujuh
Kontak yang dilakukan Rasulullah dengan jamaah haji setiap tahun itu menandakan seorang da’i tidak sepantasnya membatasi sasaran dan ling­kup da’wahnya sekitar orang-orang yang ada di sekelilingnya saja. Sebaliknya ia harus menjangkau tempat-tempat orang-orang berkumpul atau mungkin berkumpul di situ. Juga tidak pantas kalau ia cepat putus asa, karena orang-orang enggan mene­rima ajakannya. Sebab Allah telah mempersiapkan pengikut-pengikut setia yang tidak terduga sebelum­nya. Dan seringkali sekelompok kecil orang justru berperan besar dalam mensukseskan da’wah dan memerangi kejahatan, berikut pecinta-pecintanya.

Imannya tujuh orang yang dijumpai Nabi di Aqabah misalnya, ternyata merupakan cikal bakal kaum Anshar, yang di samping menjadi penolong kalangan Muhajirin, juga menjadi landasan yang kokoh bagi berdirinya negara yang memprogramkan penghapusan Syinik dan Musyrik, untuk selanjutnya membangun kekuasaan iman yang kekal abadi.

REFERENSI
a.       As-Sirah An-Nabawiyah Durusun wa ‘Ibar, karya DR. Musthafa As-Siba’
b.      Sirah nabawiyah                                                       - Ibnu Hisyam
c.       Zaadul ma'ad                                                          - Ibnul Qayim
d.      Arrahiqul makhtum                                                  - Al Mubarak Furi
e.       Nurul Yaqin                                                             - Khudhari
f.    Assirah Annabawiyah                                              - Ibnu Katsir

No comments:

Post a Comment