Friday, September 13, 2013

PERANG HUDAIBIYAH

Peperangan Hudaibiyah

Perang ini terjadi pada bulan Zulqa’idah tahun 6 H. Mulanya ialah Rasulullah Saw. bermimpi memasuki Baitullah bersama-sama dengan sahabat­sahabatnya dalam keadaan aman. Mereka mencukur rambutnya dan berpakaian ihram.

Atas dasar wahyu ml dipenintahkannyalah umat agar bersiap-siap untuk pengi ke Makkah dalam rangka melakukan umrah, bukan untuk menantang kaum Qurasiy atau untuk benperang. Kaum Mush-mint yang terdini dan Muhajirin dan Anshar benang­kat menuju Makkah dalam suasana rmang gembira, karena keninduan akan Baitullah yang telah enam tahun tidak mereka kunjungi, akan terpenuhi. Kaum Muslimin yang berjumlah 1.500 orang itu berangkat tanpa membawa persiapan-pensiapan perang, kecuali perbekalan dan senjata yang biasa di bawa kafilah dagang untuk melindunginya dan perampok.

Sesampainya rombongan Nabi di Asfan datang­lah seseonang yang mengabarkan, orang-onang Quraisy sudah mengetahui adanya rombongan intl. Mereka sudah bertolak dan Makkah dalam keada­an siap perang, dengan tekad tidak akan mengizin­kan Nabi Saw dan kaum Muslimin memasuki Makkah. Mendengar laporan itu, Nabi bersabda:

mereka tidak melakukan itu, ma/ca silahkan memera­ngiku dengan segala kemampuan yang ada. Bagaimana sebenarnya perkiraan mereka itu? Demi Allah, aku akan terus rnemperjuangkan apa yang diamanatkan Allah kepadaku hingga  tegak atau pembela-pembelanya habis.”

Nabi kemudian meneruskan perjalanan hingga sampai di Hudaibiyah, suatu tempat di dekat kota Makkah. Disini beliau ditemui oleh beberapa orang dan kabilah Khuza’ah yang menanyakan perihal kedatangannya. Kami datang ke Makkah tidak lain kecuali untuk mengunjungi ka’bah dan melakukan umrah, jawab Nabi. Utusan-utusan itu pun segera kembaim, lalu mengatakan kepada rombongannya “Tampaknya kita terlalu gegabah terhadap Muham­mad. Kedatangannya tidak untuk perang, melainkan hanya untuk meriziarahi Baitullah. Demi Allah, dia (Muhammad) tidak boleh memasuki Baitullah di hadapan kita-kita buat selamanya dan seluruh orang Arab tidak usah banyak bicara tentang itu,” komentar mereka.

Kemudian kaum Quraisy itu mengutus Urwah bin Ma’sud As-Tsaqafi untuk menyampamkan sikap kaum Quraisy itu kepada Nabi dan umat Islam. Sesudah terjadi tawar menawar antananya dengan sahabat-sahabat Nabi, kembalilah ia kepada kawan­kawannya guna menyampaikan hash perundhngan itu, yang pada pokoknya ingin berdamai. Tetapi keinginan damai itu ditolak, sehingga Nabi Saw. mengutus Usman bin Affan untuk sekali lagi menya­takan maksud damainya.

Kembalinya Usman dan perundingan itu agak terlambat, hal mana menimbulkan dugaan berat dia telah dibunuh, sehingga Nabi berpendapat tidak ada jalan yang lebih baik kecuali memerangi kaum Musynikin Quraisy. Beliau menyerukan agar seluruh anggota rombongan berjanji setia untuk berperang pada saat itu juga. Semboyannya ialah perdamaian atau mati syahid di jalan Allah, dengan senjata seadanya.

Tekad yang sangat bulat mengarungi peperangan  rupanya membuat orang-orang Quraisy menja­tuhkan pilhhannya untuk Damal. Inilah yang lebih balk, tetapi dengan syarat-syarat:
  1. Rasulullah Saw. beserta kaum Musliniin bersedia menunda maksudnya untuk menziarahi Baitullah pada tahun itu.
  2. Umrah baru dapat dilaksanakan tahun depan, dengan ketentuan agar masing-masing orang hanya membawa senjata yang biasa dibawa Se­orang musafir, yaitu sebatang tombak dan sebilah pedang yang disarungkan

REFERENSI
a.       As-Sirah An-Nabawiyah Durusun wa ‘Ibar, karya DR. Musthafa As-Siba’
b.      Sirah nabawiyah                                                       - Ibnu Hisyam
c.       Zaadul ma'ad                                                          - Ibnul Qayim
d.      Arrahiqul makhtum                                                  - Al Mubarak Furi
e.       Nurul Yaqin                                                             - Khudhari
f.       Assirah Annabawiyah                                              - Ibnu Katsir

PERANG AHZAB

Perang Ahzab

     
Peperangan ini lebih dikenal dengan nama perang Khandaq. Terjadi pada bulan Syawal tahun 5 H. Mulanya ialah setelah Bani Nadhir diusir datanglah pemimpin-pemimpinnya ke Makkah untuk mengajak onang-orang Quraisy memerangi Rasulullah bersama-sama. Keinginan mi disambut baik. Selanjutnya mereka datang ke Ghotofan (nama daerah) untuk beraliansi dengan masyarakat di daerah itu. Maksud mi ternyata disambut baik pula oleh Bani Fazzarah, Bani Murrah dan Bani Asyja. Setelah siap berangkatlah mereka menuju Madinah.

Menghadapi ancaman ml segeralah Rasulullah bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya guna memutuskan langkah-langkah yang perlu diambil. Salman mengusulkan agar kaum Muslimin mengam­bil taktik bertahan dengan menggali pant-pant di sekeliling Madinah. Pendapat iru disepakati untuk segera dilaksanakan. Betapa tenkejutnya musuh dan sekutu-sekutunya melihat pant-pant pentahanan yang belum pernah dikenal dalam sejanah Arab.

Pihak musuh berkekuatan 10.000 pnajurit, Se­dangkan kaum Muslimin berkekuatan 3000 pnajurit.

Dalam pada itu ada seorang pemimpin Yahudi yang bernama Huyyi bin Akhtab berusaha membu­juk Kaab bin Asad, pimpinan Yahudi Quraizah, agar membatalkan secara sepihak perjanjian damai yang telah dibuatnya dengan kaum Musliniin. Tentu saja ajakan diterimanya dan bersama rakyatnya menyatakan bergabung.

Pada waktu itu Nabi merasa khawatir kalau­kalau tentara Islam tidak mampu melawan musuh yang semakin banyak jumlahnya, sehingga Nabi berpikir ingin membujuk orang-orang Yahudi Qurai­zah agar memisahkan din dan tidak memerangi tentara Islam dengan jaminan, kepada mereka akan diberikan sepertiga hasil bumi Madinah.

Akan tetapi kaum Anshar tidak setuju memberi­kan tebusan apapuri kepada mereka yang justru telah memba talkan janji seenaknya. Dengan demikian berkecamuklah perang melawan tentara-tentara berkuda yang mencoba menyeberang pant-pant sempit di beberapa penjuru, yang berakhin dengan kegagalan pihak musuh.

Di tengah-tengah kecamuk perang datanglah seorang bernama Naim bin Mas’ud menghadap Nabi menyatakan masuk Islam. Katanya, keislamannya itu tidak diketahui oleh kawan-kawannya, padahal Nabi sendiri tahu dia orang yang dipercaya oleh Bani Quraizah. Perintahkan kepadaku apa yang engkau kehendaki, katanya kepada Nabi. “Pada saat engkau tiada berarti bagi kami dan sangat lemah. Pergilah dan sini. Bukankah perang adalah tipu daya,” jawab Nabi.

Setelah itu Naim melakukan kasak-kusuk untuk memecah belah tentara-tentara Quraisy dengan seku­tu-sekutunya di satu pthak, dan orang Baru Quraizah di pihak lain, sehingga masing-masing saling mera­gukan i’tikad baiknya. Dalam kaadaan demikian bertiuplah angin topan yang sangat dingin menghan tam dan menyapu bersih kemah-kemah tentara Quraisy dan sekutunya. Rasa takut pun mulai meng­hantui masing-masing orang dan pada malam harmnya seluruh tentara yang mengepung Madinah terpaksa angkat kaki.

Berkenaan dengan peperangan ini turun ayat:

“Wahai umat yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah yang dikaruniakan kepada kamu, ketika datang kepadamu tentara-tentara, la/u Kami kirimkan kepada rnereka an gin topan dan tentara-tentara yang tidak terlihat oleh kamu. Dan Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.Yaitu ketika mereka datang kepada kamu dan atas dan dan bawah, dan tidak tetap lagi pengliha tan rnereka. Dan hatinya men yesakkan naik sampai ke teng­gorokan dan men yangka Allah dengan bermacam-macam pensangkaan.Di situlah orang-orang Mukmin diuji dan digonca ngkan ha tinya segoncang-goncangnya.” (Al­Ahzab: 9-11)

Ayat-ayat berikutnya menggambarkan, bagai­mana tingkah laku orang-orang munafik dalam menghadapi pepenangan itu. Kemudian diiringi dengan gambaran tingkah laku orang-orang yang beriman. Firman Allah Swt.:

“Dan tatkala orang-o rang Mukmin melihat golongan­golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: Inilah yang dijanjIkan Allah dan Rasul-Nya kepada kita dan benarlah Allah dan janji-Nya. Dan ­
yang demikian itu tidaklah
menambah kepada mereka, kecuali keimanan dan keislaman. Di antara orang-orang Mukmin itu ada yang menetapi apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Maka di antara meneka ada yang gugur dan di antaranya ada yang rnenunggu-nunggu. Dan sedikit pun mere/ca tidak men gubah janjinya. Supaya Allah memberikan ba­lasan kepada onang-orang yang benar, karena kebena­nannya, dan men yiksa orang yang munafik jika dikehen­daki-Nya, atau menenima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengam pun lagi Maha Pen yayang. Dan Allah menghalau orang-onang kafir itu dalam keadaan penuh kemurkaan, mereka tidak mempenoleh keuntungan apa pun. Dan Allah men ghindarkan orang-onang Mukmin dan pepenangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Make Penkasa.” (Al-Ahzab: 22-25)

REFERENSI
a.       As-Sirah An-Nabawiyah Durusun wa ‘Ibar, karya DR. Musthafa As-Siba’
b.      Sirah nabawiyah                                                       - Ibnu Hisyam
c.       Zaadul ma'ad                                                          - Ibnul Qayim
d.      Arrahiqul makhtum                                                  - Al Mubarak Furi
e.       Nurul Yaqin                                                             - Khudhari
f.       Assirah Annabawiyah                                              - Ibnu Katsir

PERANG BANI NADHIR

Perang Bani Nadhir

Bani Nadhir adalah sekelompok orang Yahudi yang bertetangga dengan kaum Mukminin di Madi­nah. Mereka telah mengadakan perjanjian damai dan tolong menolong dengan kaum Muslimin, sebagaimana telah dicenitakan terdahulu. Tetapi karakternya yang jahat itu tentulah selalu menggoda­nya untuk membatalkan janji dengan kaum Mus­limin.

Pada waktu Rasulullah bersama beberapa orang sahabat bentamu di salah satu rumah mereka, berse pakatlah mereka untuk membunuh Nabi Saw. dengan cara menjatuhkan batu dan loteng. Nabi mendadak bangkit dani tempatnya bersender, seraya bergegas menuju kota Madinah, guna mengabarkan rencana pemburtuhan dirinya. Sahabat-sahabat yang ikut bersama beliau tidak mengetahui rencana busuk itu, tetapi Nabi Saw mendapat isyarat tentang itu. Kepada Muhammad bin Maslamah, Nabi memerin­tahkan agar mengultimatum mereka untuk pergi dan perkampungan itu selambat-lambatnya sepuluh han setelah dikeluarkan ultimatum tersebut. Orang­orang Yahudi Bani Nadhir pun sedia untuk keluar dan wilayahnya, kalau saja tidak dihalang-halangi oleh gembong kaum Munafik, Abdullah bin Ubay.

Dikirimkannya sepucuk surat yang berisi la­rangan meninggalkan perkampungan dan kesediaan mengirimkan 2000 orang tentara bantuan, sehingga mereka tidak jadi keluar, bahkan memasang kuda­kuda untuk melawan pasukan Islam dengan mengirixnkan surat kepada Nabi Saw. yang berisikan pernyataan “Sungguh kami tidak akan keluar dan negeni kami, silahkan anda melakukan apa yang dipandang baik.”

Rasulullah Saw. berangkat membawa pasukan­nya menuju perkampungan Bani Nadhir, kedata­ngannya disambut dengan lemparan batu dan anak panah. Dalam pada itu, bantuan perlengkapan senjata yang dijanjikan Abdullah bin Ubay kepada mereka ternyata tak kunjung tiba, hal mana membuat mereka tidak mampu melawan tentara Islam. Akhir­nya tak ada pilihan lain kecuali menyerah. Perlucu­tan senjata terjadi dengan syarat-syarat:

1.   Mereka harus meninggalkan negeri itu, tanpa membawa penlengkapan-peruengkapan perang.
2.   Mereka dibolehkan membawa seluruh persediaan sandang dan pangan.
3.   Pihak Islam menjamin tidak mengganggu pelak­sanaan pengunduran din mereka dan wilayah itu.

Sebelum menarik din, orang-orang Yahudi terlebih dahulu merusak bangunan-bangunan dan rumah-rumahnya, agar tidak dapat dimanfaatkan oleh kaum Muslimin. Sebagian mereka mengungsm di Khaibar, sebuah kota kecil yang terletak 100 m.il dan Madinah dan sebagian lainnya mengungsi di wilayah Jursy di sebelah selatan Syam (Syiria). Hanya dua orang saja di antara mereka yang masuk Islam.

Pada waktu perang Bani Nadhir mi, turunlah kepada Nabi Surat Al-Hasyr, dimana salah satu ayatnya berbunyi:
“Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di an tarn nh/i kitab dan kampung-kampung mereka, pada saat pen gusiran yang pertama kali. Kamu tiada men yang­ka mereka akan keluar dan mereka pun yakin, benteng­benteng mereka akan dapat mempertahankan mere/ca dan siksaan Allah, maka Allah mendatangkan kepada mere/ca hukurnan dan arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka, mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. Dan jika tidak karena Allah telah menetapkan pen gusiran terhadap mereka, benar-benan Allah men gazab mereka di dunia, Dan bagi mereka di akhi rat ada azab neraka.Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menen­tang Allah dan Rasul-Nya, siapa saja menentang Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (A1-Hasyr: 2-4)

REFERENSI
a.       As-Sirah An-Nabawiyah Durusun wa ‘Ibar, karya DR. Musthafa As-Siba’
b.      Sirah nabawiyah                                                       - Ibnu Hisyam
c.       Zaadul ma'ad                                                          - Ibnul Qayim
d.      Arrahiqul makhtum                                                  - Al Mubarak Furi
e.       Nurul Yaqin                                                             - Khudhari

f.       Assirah Annabawiyah                                              - Ibnu Katsir

PERANG UHUD


Perang Uhud
Perang Uhud terjadi pada han Sabtu tanggal 15 Syawal 3 H. Orang-orang Quraisy Makkah berambisi sekali membalas kekalahannya pada perang Badar Raya. Dipersiapkannya suatu pasukan besar dengan kekuatan 3000 orang serdadu. Dalam pasukan itu terdapat 700 ratus infanteri, 200 orang tentara berkuda (kavaleni) dan 17 orang wanita. Seo­rang di atara mereka yang tujuh belas  ikut serta Hindun bin Utbah, isteri Abu Sofyan. Ayahnya yang bernama Utbah, telah terbunuh pada perang Badar Raya.

Pasukan Quraisy dipusatkan di suatu lembah di pegunungan Uhud, suatu pegunungan yang terletak 2 kilometer sebelah utara Madinah.

Menghadapi tantangan, Nabi Saw. dan bebe­rapa orang sahabatnya berpendapat kaum Muslimin tidak perlu menemui musuh-musuh yang sudah siap siaga itu. Sebaliknya orang-orang Islam tetap siaga di Madinah dengan taktik bertahan (defensif). Akan tetapi sekelompok orang Islam (Muhajirin dan Anshar) terutama pemuda-pemuda yang tidak ikut ambil bagian dalam perang Badar berambisi besar
untuk menemui tentara-tentara Quraisy dan ingin menghajarnya di gunung Uhud. Atas desakan itu Nabi surut dan pendapatnya semula. Masuklah beliau ke rumahnya, lalu keluar dalarn keadaan su­dah siap dengan mengenakan baju besi, menyandang tameng dan memegang tombak serta pedang.

Melihat gelagat Nabi itu, sebagian sahabat yang tadinya sependapat dengan beliau menyatakan penyesalannya terhadap orang-orang yang memak­sakan keingmnannya untuk berperang.   Mereka yang memandang tidak penlu meladeni tentara-tentara Quraisy tadi mengatakan kepada Nabi: “Kami tidak mau mengirimmu. Jika engkau tetap setuju benangkat, benangkatlah, dan jika akan engkau urungkan, urung­kanlah.”

Rasulullah Saw. menjawab: “Tidak pan tas bagi seorang Nabi yang sudah mengenakan baju besi untuk menanggalkannya kembali, hingga Allah Menetapkan sesuatu baginya dan bagi musuh.”

Kemudian beliau berangkat bersama lebih kurang 1000 orang tentara. Dua ratus orang memakai baju besi dan hanya dua orang tentara berkuda.

Setelah berangkat, Nabi Muhammad kembali menye1eksi pasukannya dan tennyata di dalamnya terdapat ratusan orang Yahudi yang menggabungkan din dengan tentara Islam. Mereka itu dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul. Nabi bertanya kepada sahabat-sahabatnya, apakah mereka telah masuk Islam? Belurn, jawab sahabat. Rasulullah memerin­tahkan: “Llsir mereka dan penintahkan agar kembali ke
Madinah. Kita tidak perlu bantuan onang-onang Musyrik untuk menghadapi orang-onang Musynikin.”

Mereka yang berjumlah 300 orang itu pun keluar dan pasukan, dan tingallah 700 orang pasukan Nabi. Sesampainya di pegunungan Uhud, segera di lakukan pengaturan pasukan dan pembagian posisi. Lima puluh personil ditempatkan di sebuah bukit yang terletak di belakang lereng, di mana pasukan dikonsentrasikan di bawah pimpmnan kornandannya, Abdullah bin Jabir Al-Anshary. Mereka bertugas menghadang pasukan musuh yang akan rnenyerang dan bukit itu.

Rasulullah mengomandokan kepada penjaga bukit : “Siagalah kamu semuanya, dan jangan sampai musuh-musuh kita men yenbu dan belakang. Jika pasukan berkuda meneka naik ke posisi kamu, hujanilah kuda­kuda itu dengan anak panah. Kuda-kuda itu pasti tidak kuat dan takut dengan panah. Kita selalu a/can unggul, manakala kamu tetap berjaga di atas bukit. Ya Allah sesungguhnya aku yakin Engkau a/can menolong meneka.”

Menurut pendapat lain, ketika itu Nabi mengata­kan: “Bila kamu melihat bunung-bunung men yambar­nyamban kami yang berada di leneng, ma/ca jangan kamu kosongkan tempat (bukit) , hingga datang penintahku. Dan jilca kamu melihat kami dapat rnengalahkan atau dapat menghancunkan mereka sampai terbunuh semua­nya, rnaka janganlah pu/a kamu tinggalkan tern pat mi.”

Segala sesuatunya telah diatur dan serbuan pun diüLUlai. Tentara Islam berhasil mengungguli musuh dan beberapa di antaranya telah terbunuh sementara yang lainnya kocar-kacir melarikan din. Tetapi sa­yang tentara-tentara Islam mulai tergiur untuk mengambil harta rampasan yang ditinggalkan oleh rnusuh yang lan itu, tak terkecuali regu pengawal jalur rawan serbuan yang berada di bagian atas bukit. Tidak kurang dan 40 orang di antaranya turun ke lereng untuk ikut serta mengambil harta rampasan yang begitu banyak, sehingga hanya tinggal sepuluh orang saja yang berada di atas bukit, komandannya, Abdullah bin Juber sebelurnnya telah mengingatkan mereka yang turun itu, tetapi tidak berhasil mengha­langinya. Malah rnereka menyanggah sang kornan­dan dengan kata-kata: “Tidak per/u lagi kita bersiaga di sini. Bukankah peperangan telah usai.”

Kelemahan regu pengawal bukit yang hanya berkekuatan sepuluh person itu dirnanfaatkan Khalid bin Walid yang bertindak sebagai komandan tentara Makkah. Secepat kilat ia menyerang dan melumpuhkan regu pengawal, dan turun ke lereng gunung seraya menyerbu habis-habisan dan bela­kang. Tibalah giliran pasukan Islam kocar-kacir dibuatnya. Pasukan musuh balik menyerbu mereka dan setiap sektor, sambil mendekati posisi Nabi Saw. Dalam keadaan posisi yang sangat genting itu disiar­kan pula psywar yang menyatakan Nabi telah terbu­nuh, sehingga tentara Islam semakin porak-poranda. Pada waktu itu Nabi terkena lemparan batu, sampai jatuh pingsan. Tentu saja semua anak panah musuh terarah kepada beliau. Muka, lutut, bibir bawahnya luka-luka, sedangkan tutup kepalanya pecah Posisi Nabi saw. yang hanya diapit oleh puluhan tentara saja itu, dihujani musuh dengan anak panah yang memaksa beberapa orang sahabat gugur, karena menghalangi sampainya anak-anak panah itu ke tubuh Rasulullah Saw. Tercatat di antaranya Abu Dajanah, Saad bin Abi Waqas yang matian-matian bertahan dengan melontarkan hampir seribu buah anak panah, guna mengusir musuh. Selain itu dicatat pula seorang wanita, Ummu Imarah Nusaibah Al­Anshary. Snikandi mi mulanya bertugas sebagai perawat tentara Islam yang luka-luka, tetapi derni melihat jiwa Nabi terancam maut, segeralah ia me­magari din Nabi beserta suami dan dua orang putra­nya, sehingga ia sendiri tewas. Atas keberaniannya yang luar biasa itu, Rasulullah berkata kepadanya:
“Semoga Allah memberkahi kamu sekeluarga.”

Lalu Nusaibah minta kepada Nabi berdo’a agar dapat bersama-sama masuk surga dengan angota­anggota keluarga yang tewas pada waktu itu: “Ya Allah, jadikanlah mereka sebagai teman-temanku di surga kelak,” ucap Nabi.

Saat-saat gawat diceritakan oleh Nabi Saw. kepada sahabat-sahabatnya, wanita yang bernama Nusaibah inilah yang paling sibuk memberikan perlawanan demi membela aku. Ia menderita dua belas luka terkena panah dan pedang. Pada saat kritis tersebut ada seorang tentara Quraisy yang bernama IJbai bin Khalaf menyerang Nabi dengan pedang terhunus, sehingga tidak ada telah tewas lebth dahulu. Hanya dalam perang Uhud mi Rasulullah sempat membinasakan jiwa seseorang dan hanya Ubai bin Khalaf inilah yang mati terkena tombak Nabi, selama masa peperangannya.

Untunglah Rasulullah Saw. masih mampu bang-kit dan keluar dan lobang tempatnya terperosok itu dengan bantuan Thalhah bin Ubaidillah.

Melihat sekelompok orang-orang Musynik Makkah masih berada di atas gunung, diperintah­kannya satu regu untuk mengejarnya, seraya berseru kepada seluruh pasukan:

“Meneka itu tidak pan tas mengungguli kita. Ya Allah tiada kekuatan bagi kami, kecuali kanena Engkau.”

Sambil bersiap-siap untuk berlani berkatalah Abu Sofyan: “Hari adalah hari pembalasan perang Badar.”

Perang Uhud  menelan korban sebanyak 70 orang dan pasukan Islam, dan 23 dan kaum Musy­nikin. Suatu hal yang sangat menggemaskan ialah peristiwa terbunuhnya Syaidina Hamzah, paman Rasulullah Saw. Begitu beliau terkena panah, menari­nanilah Hindun isteri Abu Sofyan, lalu mendatangi tempat tergeletaknya dengan maksud melampiaskan dendam kesumat atas kematian ayahnya pada perang Badan. Dibelahnyalah dada mayat Hamzah, diambil hatinya, lalu dikunyah-kunyahnya. Mengenai perang Uhud  terdapat beberapa ayat yang berisi nasihat pelipur kesedihan kaum Muslimin, kekalahannya dan mengingatkan akan sebab-sebab terjadinya kekalahan itu. Dalam surat Au Imran ayat 138 sampai ayat 142 dan ayat 153 dikatakan

“Dan janganlah kamu lemah semangat dan janganlah bensedih hati, dan kamulah orang-o rang yang lebih tinggi derajatnya, jika kamu benar-benar beriman. Jika kamu (pada perang uhud) menda pat lu/ca, ma/ca sesungguhnya kaum kafmn itupun mendapatkan luka yang serupa. Demikianlah, masa kami pergantikan antara manusia, agan meneka menda pat pelajaran dan supaya Allah membedakan orang-orang yang ben man dengan orang­orang yang kafir dan supaya sebagian kamu gugur sebagai syahid. Dan Allah tidak menyukai orang-onang yang zalim. Dan agar Allah membersihkan onang-orang berirnan (dan dosa-dosanya) dan membinasakan onang-onang yang kafin. Apakah kamu men gina kamu akan masuk sunga padahal belum nyata bagi Allah onang-orang yang benjihad di antara kamu, dan belum nyata onang-orang yang sabar.” (Au Imran: 139-142)

“Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji­Nya kepada kamu, ketika kamu meinbunuh mereka dengan izin-Nya, sampai pada saat kamu lemah dan benselisih dalam unusan itu, dan mendurhakai penintah Rasul, sesudah Allah memperlihatkan kepada kamu sesuatu yang karnu sukai. di antana kamu ada pula yang menghendaki akhinat. Kernudian Allah rnemalingkan kamu dani meneka, untuk rnenguji kamu, dan sesungguhnya Allah telah memaajkan karnu. Dan Allah memiliki karunia atas onang­onang beniman. Ingatlah ketika kamu Ian dan tidak menoleh kepada seorang pun, sedang Rasul yang berada di antara kawan-kawanmu yang lain memanggil karnu. Karena itulah Allah menimpakan atas karnu kesedihan di atas kesedihan, supaya karnu tidak bersedih hati terhadap apa-apa yang luput dani sisi karnu dan tenhadap apa yang menimpa kamu. Dan Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu lakukan.” (Au Imran: 152-153)

REFERENSI
a.       As-Sirah An-Nabawiyah Durusun wa ‘Ibar, karya DR. Musthafa As-Siba’
b.      Sirah nabawiyah                                                       - Ibnu Hisyam
c.       Zaadul ma'ad                                                          - Ibnul Qayim
d.      Arrahiqul makhtum                                                  - Al Mubarak Furi
e.       Nurul Yaqin                                                             - Khudhari
f.       Assirah Annabawiyah                                              - Ibnu Katsir

PERANG BADAR



Perang Badar Raya, yang terjadi pada tanggal 17 Ramadhan 2 H. Perang mi bermula dan kesalah pahaman kafilah dagang kaurn Musyrikin Makkah, yang sedang kembali dan syam menuju Makkah. Rasulullah memerintahkan sejurnlah sahabatnya untuk mengamati kafilah Quraisy yang sedang lewat di wilayah Madinah itu, tanpa berrnaksud untuk berperang, di bawah pimpinan Nabi Saw. sendiri. 

Begitu melihat rombongan orang Madinah yang mendekati kafilahnya, segeralah Abu Sofyan, pimpinan kafilah, mengutus anak buahnya untuk segera minta bantuan dan Makkah. Segeralah pula datang sepasukan dan Makkah dengan kekuatan 1000 orang tentara enam ratus orang di antaranya berkuda (kavaleri), yang merangkap sebagai kompi perbeka¬lan (logistik), dan tiga ratus orang tentara cadangan yang merangkap sebagai regu musik. Di samping itu mereka juga membawa 700 ekor onta. Regu musiknya sepanjang jalan menggemakan lagu-lagu perang, terutama yang berisikan ejekan terhadap Nabi Saw. dan kaum Muslimin.

Kompi patroli yang dikerahkan Nabi itu berke¬kuatan 313 prajurit, dengan 70 ekor onta dan tidak lebih dan 3 ekor kuda. Mereka kebanyakan terdiri dan penduduk ash Madinah. Mereka mengendarai tunggangan yang ada itu secara bergantian

Beberapa saat sebehum berangkat Nabi Muham¬mad Saw. bermusyawarah dengan para sahabatnya dan kalangan Anshar, tentang kelompok mana yang lebih dulu diter~junkan ke medan laga. Kelompok Muhajirin segera menawarkan din dan menyatakan sanggup. Dalam pada itu kelompok Anshar juga paham, Nabi Saw. menghendaki agar merekalah yang lebth dahulu terjun walaupun Nabi belum terus terang menyatakan maksudnya itu. Karena itulah Saad bin Mu’az, sebagai sesepuh kaum Anshar, bangkit menyatakan kesiapanriya untuk diterjunkan lebih dahulu, berucaplah ia:
“Wahai Rasulullah, sun gguh kami mi telah beriman kepadamu, telah seratus persen meyakini agama dan telah men gakui kebenaran agama yang engkau bawa kepada kami. I~ami telah bersumpah setia untuk melaksanakan semua yang telah kami Jan Jikan kepadamu. Oleh karena itu, segeralah laksanakan apa yang telah menjadi keputusanmU~ ya Rasuluflah, dan kami setia kepadamu. Demi Allah yang telah membangkitkaflmu den gan membawa kebenaran, kalau engkau perintahkan kami untuk men garungi lau tan mi (perang), niscayalah kami arungi bersamamu. Tak seorang pun di antara kami mi yang akan menolak komandomu dan tak seorang pun yang akan mundur dan medan laga, han mi atau besok. Kami sanggup tabah menjalani peperangan mi dan telah siap sedia untuk syahid di dalamnya. Mudah-mudahafl Allah Swt. merestui apa-apa yang englcau percayaka~~ kepada kami dan marilah berangkat bersama kami, dalam berkah Ilahi.”

Banyak lagi kauangan Anshar yang memberikan pernyataafl serupa, sehingga legalah hati Nabi Saw.
Seusai rapat itu, Nabi Saw. bersabda:
“Berangkatlah kamu bersama inayah Allah, dan berbesar hatilah. Allah telah men ggariskan dua pilihan~ menang atau kalah”

Kemudian Nabi Saw. berangkat dengan pasu¬kannya untuk segera menduduki sebuah telaga kecil yang ada di gunung Badar itu. Setiba di sana, berka¬talah Habbab bin Munzir, “Yaa Rasulullah, tempat atau daerah mi telah dianugrahkan oleh Allah kepadamu (telah diduduki lebih dahulu) dan janganlah engkau maju atau mundur dan tempat mi, apa pun yang terjadi, baik pasukan kita maju, atau mundur atau terjadi kejar mengejan, namun kita harus bertahan di daerah mi.” Rasulullah menjawab, “Memang begitulah seharusnya.”
Kemudian Habbab menunjuk sebuah telaga lain dan berjalan ke sana bersama-sama untuk lebih da¬hulu menguasainya, sehingga mernungkinkan ten¬tara-tentara Islam untuk memutuskan jalur suplai air. Di dekat telaga inilah pasukan dipusatkan, dan Saad bin Muaz mengerahkan kawan-kawannya untuk mendirikan kemah dan dikawal oleh beberapa prajurit.

Akan tetapi Rasulullah heran terhadap komando dan kerja Saad itu, lalu behiau bertanya kepada Saad untuk apa itu kau lakukan. Sudah banyak kaum yang bergabung dengan kami, tetapi belum ada orang yang sangat karni cintai selain engkau, ya Rasuluhlah. Karni boleh mati saat mi juga, tetapi engkau harus kembali dalam keadaan selamat, jawab Saad. Jika mereka mi (prajurit-prajurit Anshar) tahu engkau terancam tentulah mereka tidak mau jauh darimu.

Mendengar penjelasan itu berdo’alah Nabi Saw. agar ia (Saad) dan seluruh tentananya selamat dan
memenangkan peperangan, dan apa yang diusulkan Saad tadi diperkenankan olehnya.
Tatkala kedua belah pihak telah berhadap¬hadapan untuk mernulai penyerbuan, tampillah Nabi Saw. mengatur barisan seraya memberi semangat kepada seluruh prajurit:
“Demi Allah yang nyawaku mi ditangannya, musuh¬musuh kita sekarung akan menghadapi pahiawan¬pahiawan yang sabar dan tangguh, serta akan memenang¬kan peperangan. Jika satu di antananya tenbunuh, maka Allah yang akan memasukkannya ke sunga.”

Kemudian Nabi kembali ke kemahnya bersama Abu Bakar, sementara Saad bin Muaz mengawalnya dengan pedang terhunus. Nabi berdo’a:


“Ya Allah, aku nantikan janji-Mu. Ya Allah, jika pasukanku mi kalah, niscaya tidak ada lagi onang yang akan men yembahmu di bumi mi.”

Beliau terus melakukan shalat khauf dan sujud agak lama, lalu diingatkan oleh Abu Bakar dengan ucapan:
“Bangunlah, sebentar lagi Allah akan men unaikan janjinya kepadamu.”

Tak berapa lama ternyata perang telah berhenti dan kemenangan diraih oleh pihak Islam. Dan pihak Quraisy kurang lebih 70 orang terbunuh, termasuk orang yang paling Musyrik, Abu Jahal, dan pemim¬pin lainnya, 70 orang lainnya tertawan. Setelah mayat-mayat tentara itu dimakamkan kembalilah Nabi Saw. dengan pasukannya ke Madinah. Kemu¬dian beliau bermusyawarah dengan beberapa orang sahabat guna membicarakan tindakan yang akan diambil terhadap tawanan-tawanan perang itu. Saidina Umar bin Khattab mengusulkan agar mereka dibunuh saja, tetapi Abu Bakar mengusulkan agar mereka dibebaskan dengan syarat memberikan tebu¬san, pendapat inilah yang disetujui untuk ditetapkan sebagai keputusan resmi dan ditebuslah tawanan¬tawanan itu oleh kaum Musyrikin Makkah.

Tentang peperangan Badar mi turun ayat:
“Sungguh Allah t elah menolong kamu dalam perang Badar, padahal kamu pada waktu itu dalam keadaan lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah supaya kamu mensyukurinya. Cukuplah jika kamu sabar dan siaga, dan meneka datang men yerang kamu seketika itu juga niscaya Allah menolong kamu dengan lima nibu Malaikat yang memakai tanda. Ingatlah ketika kamu mengatakan kepada orang-orang Mukmin, apakah t idak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu Malaikat yang ditirunkan (dan langit). Dan Allah t idak menja¬dikan pembenian bala bantuan itu, melainkan sebagai kabar gembira bagi kemenanganmu dan agar ten teram hatimu karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Untuk mernbinasakan go/on gan orang-orang kafir, atau untuk menjadikan mereka itu hina, lalu mereka kembali dengan tiada memperoleh apa-apa.” (Au Imran: 123 - 127)

Di samping itu turunlah pula ayat yang berisi teguran buat Nabi Saw. atas keputusannya membe¬baskan tawanan-tawanan perang dengan rnensyarat¬kan tebusan, yaitu:

“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi, sedang Allah menghendaki (pahala) akhirat. Dan Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
Kalau sekinanya tidak ada ketetapan yang terdahulu dan Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil. Maka makanlah sebagian harta nampasan perang, Dan Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
Dan betakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Anfal:
67-69)

REFERENSI
a. As-Sirah An-Nabawiyah Durusun wa ‘Ibar, karya DR. Musthafa As-Siba’
b. Sirah nabawiyah                                             - Ibnu Hisyam
c. Zaadul ma'ad                                                      - Ibnul Qayim
d. Arrahiqul makhtum                                             - Al Mubarak Furi
e. Nurul Yaqin                                             - Khudhari
f. Assirah Annabawiyah                                      - Ibnu Katsir

HIJRAH DAN MENETAP DI MADINAH


A.  BEBERAPA PERISTIWA PENTING

Pertama
Tersebarnya berita masuk Islamnya sekelompok penduduk Yatsrib (Madinah), membuat orang-orang kafir Quraisy semakin meningkatkan tekanan kepada orang-orang Mukmin di Makkah. Lalu Nabi Saw. memerintahkan mereka agar hijrah ke kota Madinah. Sahabat segera berangkat menuju Madinah secara diam-diam, agar tidak dihadang oleh musuh. Namun Umar bin Khattab justru mengumumkan terlebih dahulu rencananya untuk berangkat ke pengungsian kepada orang-orang kafir Makkah, dikatakannya:
“Siapa di antara kalian yang bersedia benpisah den gan ibunya, silahkan hadang aku besuk di lembah anu, besuk pagi saya akan hijrah.” Tidak seorang pun berani menghadang Uman.

Kedua
mengetahui, kaum Muslimin yang hijrah ke Madinah itu ternyata disambut baik dan mendapat penghormatan yang memuaskan dari penduduk, bermusyawarahlah kaum kafir Quraisy di Darun Nadwah untuk merumuskan cara-cara yang akan diambil untuk membunuh Rasululah Saw. yang diketahui belum berangkat bersama rombongan sahabat. Rapat memutuskan untuk mengumpulkan seorang algojo dan setiap kabilah guna membunuh Nabi Saw. bersama-sama. Pertimbangannya ialah, keluarga besar Nabi (Bani Manaf) tidak akan berani berperang melawan semua suku yang telah mengu­tus algojonya masing-masing. Satu-satunya pilihan yang mungkin mereka ambil ialah rela menerima diat (denda pembunuhan) manakala ternyata jiwa Nabi dapat mereka renggut nantinya. Keputusan bersama ini segera dilaksanakan dan para algojo tadi berkumpul di sekeliling rumah Nabi Saw. Mere­ka mendapat instruksi: “Keluarkan Muhammad dari rumahnya dan langsung penggal tengkuknya dengan pedangmu.”

Ketiga
Pada malam pengepungan itu Nabi Saw. tidak tidur. Kapada keponakannya, Ali Ra. beliau meme­rintahkan agar tidur (berbaring) ditempat tidur Nabi dan menyerahkan kembali semua harta titipan penduduk Makkah yang ada di tangan Rasulullah Saw. kepada masing-masing pemiliknya.
Nabi keluar dan rumahnya tanpa diketahui oleh seorang pun di antara mereka, yang sejak senja sudah bersiap-siap untuk membunuhnya. Beliau pergi menuju rumah Abu Bakar yang sudah menyiapkan dua tunggangan (kendaraan) lalu segera berangkat Abu Bakar mencarter Abdullah bin Uraiqith Ad-Daily untuk menunjukkan jalan pintas menuju Madinah.

Keempat
Rasulullah dan Abu Bakar berangkat pada hari kamis tangal 1 Rabi’ul Awwal tahun kelima puluh tiga dan kelahiran Nabi Saw Hanya Ali dan keluarga Abu Bakar saja yang tahu keberangkatan beliau berdua malam itu. Sebelumnya Aisyah dan Asma binti Abu Bakar telah menyiapkan bekal secukupnya. Kemudian beliau berdua berangkat, bersama penunjuk jalan, menelusuri jalan Madinah Yaman, hingga sampai di Gua Tsur. Nabi dan Abu Bakar berhenti di situ dan penunjuk jalan disuruh kembali secepatniya guna menyampaikan pesan rahasia Abu Bakar kepada Putranya, Abdullah.
Tiga malam lamanya Nabi dan Abu Bakar bersembunyi di gua itu, tetapi setiap malam mereka ditemani oleh Abdullah bin Abu Bakar yang ber­tindak sebagai pengamat situasi dan pembeni informasi.

Kelima
Lolosnya Nabi dan kepungan yang ketat itu membuat kalangan Quraisy hiruk pikuk mencarinya. Jalan Makkah Madinah sudah dilacak, tetapi gagal menemukannya. Kemudian ditelusurmnya jalan
Yaman Madinah, dengan dugaan Nabi pasti bersembunyi di Gua Tsur. Setibanya tiem pelacak itu di sana, alangkah bingungnya mereka ketika meithat mulut gua itu tertutup jaring laba-laba dan sanang bunung, hal mana menunjukkan tidak ada onang yang masuk ke dalam gua itu. Mereka tidak dapat melihat apa yang ada dalam gua itu, tetapi orang yang di dalamnya dapat melihat jelas rom­bongan yang berada di luar. Waktu itulah Abu Bakar merasa sangat khawatir akan keselamatan mereka bendua, tetapi Rasulullah mengatakan kepadanya:
 “Hai Abu Bakar, kita ini bendua dan Allah-lah yangketiganya.”

Keenam
Kalangan kafir Quraisy mengumumkan kepada seluruh kabilah : “Siapa saja yang dapat menyerah­kant Muhammad dan kawannya (Abu Bakar) kepada kami hidup atau mati, maka kepadanya akan diberikan hadiah yang bernilai jutaan.” Bangkitlah Suraqah bin Ja’syam mencari dan mengejar Nabi, dengan harapan akan menjadi hartawan dalam waktu singkat.
Sungguhpun jarak antara Gua Tsur dengan rombongan Nabi sudah begitu jauh, namun Suraqah ternyata dapat menyusulnya. Tatkala sudah begitu dekat, tiba-tiba tersungkurlah kuda yang ditungga­nginya, sementara pedang yang telah diayunkannya ke arah Nabi tetap terhunus di tanganunya. Tiga kali ia melibaskan pedangnya ke arah tubuh Nabi, tetapi pada detik-detik itu pula kudanya tiga kali tensung­kur sehingga tak terlaksanalah maksud jahatnya. Kemudian ia menyarungkan pedangnya dalam keadaan diliputi perasaan kagum dan yakin, dia benar-benar berhadapan dengan seorang Nabi yang menjadi Rasul Allah. Ia mohon kepada Nabi agar berkenan menolongnya yakni mengangkat kudanya yang tak dapat bangun karena kakinya terperosok ke dalam pasir. Setelah ditolong oleh Nabi, ia memin­ta agar Nabi berjanji akan membeninya hadiah berupa gelang kebesaran raja-raja. Nabi menjawab:
“Baiklah.”
Kemudian kembalilah ia ke Makkah dengan berpura-pura tak menemukan seseorang dan tak pernah mengalami kejadian apa pun.

Ketujuh
Rasulullah dan Abu Bakar tiba di Madinah pada tanggal 12 Rabi’ul awal. Kedatangan beliau telah dinanti-nantikan masyarakat Madinah. Pagi hari me­reka berkerumun di jalanan, setelah tengah hari barulah mereka bubar. Begitulah penantian mereka beherapa han sebelum kedatangan Nabi. Pada han kedatangan Nabi dan Abu Bakar, masyarakat Madi­nah sudah menunggu berjubel di jalan raya yang akan dilalui Nabi lengkap dengan regu genderang (drum bend). Mereka mengelu-elukan Nabi dan genderang pun gemuruh diselingi nyanyian yang Sengaja di gubah untuk keperluan penyambutan itu.

Bulan purnama telah muncul di ten gah-tengah kita, dan celah-celah bebukitan. Wajiblah kita bensyukun, atas ajakannya kepada Allah. Wahai onang yang dibangkitkan untuk kami, kau datang membawa sesuatu yang ditaati.”

Kedelapan
Di tengah perjalanan menuju Madinah, Rasu­hillah singgah di Quba’, sebuah desa yang terletak dua mil di selatan Madmnah. Dibangunnyalah sebuah Masjid, dan merupakan Masjid pertama dalam scjarah Islam. Beliau singgah di sana selama empat han untuk selanjutnya meneruskan perjalanan ke Madinah. Pada Jum’at pagi beliau berangkat dari Quba’ dan tiba di perkampungan Bani Salim bin Auf, persis pada waktu shalat Jum’at, lalu shalatlah beliau di sana. Inilah Jum’at pertama dalam Islam, dan karena itu khutbahnya pun merupakan khutbah yang pertama.
Kemudian Nabi berangkat meninggalkan Bani Salim. Program pertamanya sesampainya di Madi­nah ialah menentukan tempat, dimana akan dibangun Masjid. Tempat itu ialah tempat di mana ontanya berhenti setibanya di Madinah. Ternyata tanah dimaksud milik dua orang anak yatim. Untuk itu Nabi minta supaya keduanya sudi menjual tanah miliknya, namun mereka lebih suka menghadiah­kannya. Tetapi beliau tetap ingin membayar tanah di maksud seharga sepuluh dinar. Dengan senang hati Abu Bakar menyerahkan uang kepada mereka berdua.
Pembangunan Masjid segera dimulai dan seluruh kaum Muslimin ikut ambil bagman, sehingga berdiri sebuah Masjid berdinding bata, berkayu batang korma dan beratap daun korma.

Kesembilan
Kernudian Nabi mempersaudarakan antara orang-orang Muhajirin dengan Anshar. Setiap orang Anshar mengakui orang Muhajirin sebagai saudara­nya sendiri, mempersilahkannya tinggal di rumah­nya dan memanfaatkan segala fasilitasnya yang ada di rumah bersangkutan.

Kesepuluh
            Selanjutnya Nabi Saw. merumuskan piagam yang berlaku bagi seluruh kaum Muslirnin dan orang-orang Yahudi. Piagam inilah yang oleh Ibnu Hisyam disebut sebagai undang-undang dasar negara dan pemerintahan Islam yang pertama. Isinya mencakup tentang prikemanusiaan, keadilan sosial, toleransi beragama, masyarakat dan lain-lain. Saripatinya adalah sebagai
berikut:

1.      Kesatuan umat Islam, tanpa mengenal perbe­daan.
2.      Persamaan hak dan kewajiban
3.      Gotong royong dalam segala hal yang tidak ten­masuk kezaliman, dosa dan permusuhan.
4.      Kompak dalam menentukan hubungan dengan orang-orang yang memusuhi umat.
5.    Membangun suatu masyarakat dalam suatu sis­tem yang sebaik-baiknya, seluruhnya dan seko­koh-kokohnya.
6.    Melawan orang-orang yang memusuhi negara dan membangkang, tanpa boleh memberikan bantuan kepada mereka.
7.    Melindungi setiap orang yang ingin hidup ber­dampingan dengan kaum Muslimin dan tidak boleh berbuat zalim atau aniaya terhadapnya.
8.    Umat yang di luar Islam bebas melaksanakan agamanya. Mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam dan tidak boleh diganggu harta bendanya.
9.    Umat yang di luar Islam harus ambil bagian dalam membiayai negara, sebagaimana umat Islam sendiri.
10.  Umat non Muslim harus membantu dan ikut memikul biaya negara dalam keadaan terancam.
11.  Umat yang di luar Islam, harus saling membantu dengan umat Islam dalam melindungi negara dan ancaman musuh.
12.  Negara melindungi semua warga negara, baik yang Muslim maupun bukan Muslim.
13.  Umat Islam dan bukan Islam tidak boleh melin­dungi musuh negara dan orang-orang yang membantu rnusuh negara itu.
14.  Apabila suatu perdamaian akan membawa keba­ikan bagi masyarakat, maka semua warga negara baik Muslim maupun bukan Muslim, harus rela menenima perdamaian.
15.  Seorang warga negara tidak dapat dihukum karena kesalahan orang lain. Hukuman yang mengenai seseorang yang dimaksud, hanya boleh dikenakan kepada din pelaku sendiri dan keluarganya.
16.  Warga negara bebas keluar masuk wilayah ne­gara sejauh tidak merugikan negara.
17.  Setiap warga negara tidak boleh melmndungi orang yang berbuat salah atau berbuat zalim.
18.  Ikatan sesama anggota masyarakat didasarkan atas prinsip tolong-menolong untuk kebaikan dan ketaqwaan tidak atas dosa dan permusuhan.
19.  Dasar-dasar tersebut ditunjang oleh dua kekuat­an. Kekuatan spiritual yang meliputi keimanan seluruh anggota masyarakat kepada Allah, kei­manan akan pengawasan dan penlindungan-Nya bagi onang yang baik dan konsekwen. Kekuatan material, yaitu kepemimpinan negara yang ter­cerminkan oleh Nabi Muhammad Saw.
20.  gotong royong untuk kebaikan

B.   BEBERAPA PELAJARAN

Pertama
Seorang yang Mukmin yang percaya akan kemampuannya tentu tidak akan sembunyi-sem­bunyi beramal. Sebaliknya ia berterus terang tanpa gentar sedikitpun terhadap musuh, sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khattab sewaktu dia akan hijrah. Dalam kasus ini ada pelajaran, keberanian bisa membuat musuh merasa ngeri dan gentar. Seandainya orang-orang kafir Quraisy sepakat untuk membunuh Umar, tentulah mereka mampu melaku­kan itu. Akan tetapi sikap Umar yang berarui itulah yang membuat gentarnya kafir Quraisy, dan memang onang-orang jahat selalu merasa takut kehi­langan hidup (nyawa).

Kedua
Ketika ajakan ke arah kebenaran dan perbaikan sudah dapat dibendung, apa lagi pendukung-pendu­kungnya sudah dapat menyelamatkan din, tentulah orang-orang jahat berpikir untuk membunuh pemim­pin da’wah itu. Mereka memperkirakan dengan terbunuhnya sang pemimpin, tamatlah riwayat da’wah yang dilakukannya. Pemikiran semacam ini selalu ada dalam benak orang-orang yang memusuhi kebaikan, dan zaman dulu sampai sekarang.

Ketiga
Prajunit yang sungguh-sungguh ikhlas untuk menyerukan kebaikan tentulah bersedia menyela­matkaku pemimpinnya sekalipun dengan mengor­bankan jiwanya sendiri. Sebab selamatnya pemimpin berarti selamatnya da’wah. Apa yang telah dilakukar. oleh Au yang tidur di tempat Nabi merupakan pe­ngorbanan jiwa raga guna menyelamatkan din Rasulullah.
‘Pada malam itu sangat besar kemungkiflan terbunuhnya Au, karena algojo-algojo yang melaku­kan pengepungan itu tentu akan menduga, Mi itulah Nabi. Akan tetapi hal itu tidak merisaukannya sama sekali, karena yang lebih dipentingkaflflYa ialah keselamatafl Nabi Muhammad Saw.

Keempat
DititipkaflflYa harta benda milik orang-oraflg Musynik kepada Nabi Saw. sementara golongan mereka sendiri memusuhi dan berambisi untuk membunuh Nabi, adalah menunjukkan kepercayaafl mereka akan kelurusan dan Icesucian pribadi Nabi. Mereka juga mengerti benar, Nabi jauh lebih hebat dan lebih bersih hatinya dan pada mereka sendiri. Hanya kebodohan, ketidaktahUafl dan keterikatan mereka kepada tradisi-tradiSi dan kepercayaan kepercayaafl yang salah sajalah yang membuat mereka memusuhi, menghalangi dan mengusahakan membunuh Nabi.

Kelima
Berpikirnya seorang pemimpin da’wah atau kepala negara atau pemimpin suatu pergerakan untuk menyelamatkan din dan ancaman musuh, sehingga ia mengambil jalan lain, tidaklah dapat dianggap sebagai penakut atau tidak benkonban jiwa.

Keenam
Adanya partisipasi Abdullah bin Abu Bakar, dalam penencanaan dan pelaksanaan hijrah Nabi, menunjukkan adanya peranan genenasi muda dalam mensukseskan da’wah. Mereka merupakan penun­jang yang dapat diandalkan bagi mempercepat proses kesuksesan.
Pejuang-pejuang Islam yang pertama dahulu, seluruhnya tendiri dan pemuda. Rasulullah berumur empat puluh tahun, ketika dibangkitkan menjadi Nabi. Abu Bakar berumur tiga puluh tahun, semen­tara Ali paling muda di antara mereka. Demikian pula Usman, Abdullah bin Mas’ud, Abdurrahman bin Auf, Arqam bin Abu Arqam, Sa’id bin Zaid, Bilal bin Rabah, Amman bin Yasir dan lain-lain, seluruhnya adalah pemuda-pemuda. Mereka sanggup memikul tanggung jawab da’wah dengan segala pengorbanan dan berbagai macam denita, dan ternyata mereka mampu memenangkan Islam. Dengan kesungguhan­nya beserta kaum Muslimin lainnya berdirilah negara Islam, ditundukkanlah berbagai negeri, dan sampailah Islam ke tangan generasi benikutnya, hingga kini.

Ketujuh
Partisipasi Aisyah dan Asma binti Abu Bakar dalam pelaksanaan hijrah Nabi Saw. mengisyaratkan, kaum wanita bukannya tidak diperlukan dalam suatu perjuangan. Kaum hawa yang berperasaan halus itu mudah diberi kepercayaan. Mereka banyak sekali membantu sang suami mengurusi anak-anak dan keluarga.
Dalam pada itu perjuangan kaum wanita di zaman Rasulullah dahulu mengesankan kita sekarang, suatu gerakan Islamiyah akan berjalan seret dan kurang membekas di kalangan masyarakat, manakala di dalamnya kaum wanita belum ikut ambil peranan. Bila sudah, maka itu berarti terben­tuknya suatu genenasi wanita atas dasar keimanan, akhlak mulia, kesabaran dan kesucian. Mereka akan lebih mudah menyebarkan nilai-nilai luhur yang dibutuhkan oleh dunia dewasa ini ke dalam masya­nakatnya sesama kaum wanita, ketiinbang kaum pnia. Tetapi hal ini tidak berarti mereka boleh untuk tidak menjadi isteni dan ibu rumah tangga yang baik.
Dalam rangka mendidik generasi muda, pada zaman Nabi, kaum wanita ini telah memberikan sumbangafl yang tinggi nilainya. Merekalah yang banyak berbuat untuk menumbuhkan suatu generasi penerus yang berakhlak Islam, mencintal Islam dan Rasulnya serta berjuang untuk Islam. Untuk ini dapatlah dikatakan, kaum wanita itu lebih berhasil membentuk sebaik-baik generasi penerus perjuangan Islam. Kini kita harus belajar dan sejarah di atas, harus benusaha membawa kaum waiuta dan ibu-ibu, gunamencetak mereka menjadi perancang panji-panji Is­lam di tengah-tengah masyarakat, mengingat kuan­titasnya melebihi separoh penduduk dunia. Hal itu menuntut kita untuk mendidik putni-putni dan sau­dari-saudanj, lembaga-lembaga pendidikan Islam, guna mempelajani berbagai ajanannya. Banyaknya jumlah mereka yang paham akan agama Islam, hukum, sejarah dan lain-lain ilmu, dan banyak mere­ka yang berakhlak seperti akhlak Nabi Saw. dan isteni-istenmnya, tentulah kita akan dapat lebih cepat lagi memacu perbaikan yang berdasarkan ajanan Islam dan menciptakan masyarakat yang mentaati selunuh ketentuannya.

Kedelapan
Tidak terlihatnya Nabi Saw. oleh mata orang­orang yang mengejarnya di Gua Tsur, dan adanya sarang laba-laba serta sarang-sarang burung yang sedang bertelur seperti dalam cenita, kedua-duanya merupakan contoh adanya pentolongan Ilahi kepada Rasul-Nya dan bagi pembela-pembela agama-Nya. Allah Swt. tidak membiarkan cita-cita itu gagal di tangan onang-onang Musyrik. Ia selalu akan membeni jalan bagi hamba-hamba-Nya yang ikhlas karenanya.
Allah Swt. berfirman:
            
“Sesungguhnya Kami pasti menolong Rasul-nasul Kami dan onang-onang yang beniman, di dunia mi dan di akhinat nanti.” (Gha fir: 51).

Kesembilan
Kekhawatiran Abu Bakar Ra. kalau musuh meli­hat mereka yang bersembunyi di dalam gua adalah menunjukkan betapa sayangnya sang pengawal kepada pimpinannya yang sedang terancam bahaya, melebihi sayangnya terhadap dirinya sendiri. Sean­daiٌya ia mementingkan din sendini, tentulah dia tidak bersedia menemani Rasulullah dalam suatu perjalanan yang penuh bahaya itu. Ia bukannya tidak tahu, manakala Nabi Saw. tertangkap dan dibunuh, maka dia pun akan dibunuh.

Kesepuluh
Jawaban Rasulullah yang bermaksud menenang­kan Abu Bakan pada saat itu merupakan kata-kata yang menunjukan betapa yakin-Nya Nabi Kepada Allah yang pasti menolong hamba-Nya dan betapa tulusnya beliau bertawakkal kepada-Nya. Dan menu­pakan bukti nyata kebenaran da’wah kenabiannya. Betapapun beliau dalam keadaan sangat sulit dan terjepit, namun dia yakin, Allah Swt. tidak pernah melepaskannya sesaat pun, karena dirinya itu diutus­Nya untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.
Di sinilah beda Nabi dengan orang yang se­tengah-setengah dalam menyenu mلnusia ke jalan Allah dan juga dengan orang yang benpura-pura.
Kesebelas
Apa yang telah terjadi atas din Suraqah yang gagal total membunuh Nabi Saw. juga merupakan bukti kenabian Nabi Saw. Setiap kali ia mengarahkan kudanya ke arah tubuh Nabi, terjerembablah kuda itu dan kakinya tenggelam ditelan pasin. Tapi jika diputar haluan, kembalilah kuda itu bangun dan berjalan seperti biasa. Bukankah ini pentolongan Allah Swt. kepada Rasul-Nya? Ambisi Suraqah untuk memperoleh hadiah yang melimpah sebagaimana yang dijanjikan pemimpin-pemimpin kafir Qunaisy, temyata tidak dapat mengalahkan kekuasaan Allah yang menghendaki keselamatan Rasul-Nya. Oleh karena usahanya mengejar Nabi itu demi harta benda, maka ia pun merasa puas dengan janji Nabi untuk menghadiahkan sesuatu kepadanya.

Keduabelas
Janji Rasulullah akan menghadiahkan kepadanya pakaian kebesaran kaisar, setelah kegagalan Suraqah itu adalah juga suatu mu’jizat yang dimiliki Nabi. Seonang manusia biasa yang sedang lan dan kepungan musuhnya tentulah tidak lagi sempat membayangkan, dia akan mampu menaklukkan dan menampas mahkota raja. Tetapi kanena beliau memang benar-benar seorang Nabi, masth segarlah dalam benaknya, pada akhinnya beliau akan dapat menaih mahkota naja-raja, dan apa yang dijanjikannya kepada Suraqah niscaya akan benan­benar tenlaksana.
Dalam suatu peperarigan yang dimenangkan oleh umat Islam benikut harta nampasan yang tertimbun, terlihatlah oleh Suraqah sepasang gelang raja. Lalu ia minta kepada Umar bin Khattab agar gelang itu diberikan kepadanya, sebagai realisasi janji Rasulullah kepadanya dulu. Umar pun meme­nuhi permintaan itu dengan disaksikan oleh sahabat­sahabat Nabi lainnya.

Ketigabelas
Kegembinaan peduduk Madinah dengan keda­tangan Rasulullah Saw. menupakan kegembinaan yang sesungguhnya bagi kaum Muhajinin dan Anshar, tetapi semu bagi kaum Yahudi. ‘Mereka turut bergembira di lahinnya, tapm dengki di dalam batin­nya, karena orang yang mereka sambut itulah yang akan mengambil alih kepemimpinan dan kewibawa­an yang selama irü ada di tangan mereka. Bagi orang­orang Yahudi Madinah, kedatangan Rasulullah itu akan membuat meneka tidak lagi bisa berbuat seenaknya terhadap jiwa dan hanta benda nakyat.
Sungguh pun kedengkian dan keengganan tunduk kepada hukum pada mulanya berhasil mere­ka tutup-tutupi, namun akhinnya terbuka juga. Isi piagam pensaudaraan yang telah mereka sepakati di hadapan Nabi dan kaum Muslimin dulu mulai diingkarmnya satu persatu. Ini berarti, mereka tidak rela dan tidak suka hidup damai. Memang meneka rupanya sejak dulu selalu ingin mengobarkan api peperangan. Akan tetapi api yang dikobarkannya itu akan selalu dapat dipadamkan, sebagaimana dijanjikan Allah Swt. dalam firman-Nya:
                             

“Setiap kali meneka mengobankan api pepenangan, maka setiap kali itu pula Allah memadamkannya.” (Al­Maidah: 64)

Keempatbelas
Dan penistiwa hijnah ke Madinah nyatalah yang pentama kali dilakukan oleh Rasulullah ialah mem­bangun Masjid. Selama empat han benmalam di Quba’, dibangunnya Masjid Quba’. Selanjutnya beliau membangun sebuah Masjid di perkampungan Barn Salim, yang terletak antana Quba, dan Madinah. Begitu pula di Madinah sendiri. Yang pertama kali dilakukannya ialah membangun Masjid Madinah. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya Masjid dalam Islam.
Semua ibadat yang terdapat dalam Islam bertujuan untuk mensucikan jiwa, meningkatkan akhlak, mempenkuat pensaudaraan dan kegotong­royongan antara sesama Muslim. Shalat berjamaah, shalat Jum’at dan shalat dua han raya adalah cen­minan persaudaraan sosial, persatuan kata dan tuju­an dengan demikian tidaklah teningkari lagi Masjid itu membawa misi sosial kemasyanakatan dan kerohaniaan yang sangat besan maknanya bagi masyarakat Islam.
sejarah menyatakan dan Masjidlah tentara Islam berangkat untuk menyebanluaskan hidayah Allah (agama Islam) ke seluruh penjuru dunia. Dan Masjidlah diolah dan dikembangkan kebudayaan Islam. Abu Bakar, Umar, Ali, Khalid, Said, Abu Ubadah dan lain-lain pembesar dalam sejarah Islam adalah tamatan madrasah Islamiyah yang berpusat di Masjid.
Hal lain yang perlu dicatat ialah Masjid menu­pakan sarana pendidikan Islam yang bensifat masal dan mingguan. Setiap minggu (yaitu pada han Jum’at) dicanangkan seruan untuk mengikis habis kemurtgkaran di samping perintah untuk menegak­kankebenaran dan keadilan. Dan dalam Masjid itu diberikan pula peningatart bagi orang yang lupa pada Islam, diserukan persatuan umat, diprotes segala bentuk kezaliman berikut pelaku-pelakunya. Bukan­kah dulu dan Masjidlah digalang persatuan dan semangat juang umat Islam untuk mengenyahkan penjajah, baik yang bernama impenialisme Perancis, Inggris, belanda dan konco-konconya, maupun yang bennama Zeonisme Yahudi? Jika dewasa ini Masjid tidak difungsikan sebagaimana mestinya lagi, maka itulah kesalahan khatib-khatib yang rela membelok­kan ajaran agama, hanya karena keselamatan pribadi dan kepentingan perut dan kedudukannya.
Sangat beruntung jika dalam keadaan tidak berfungsinya Masjid-masjid dewasa ini bangkit ulama, yang ikhlas demi Allah, menyerukan agar kembali menjadikan Masjid sebagai sentral da’wah Islamiyah. Dan sanalah kita bina masyarakat Islam, kita bina dan cetak kader-kaden, dan kita siapkan pahlawan-pahlawan agama. Dan sanalah kita pe­nangi kejahatan dan kemungkaran, guna memudah­kan terbentuknya masyarakat Islam yang diidam­idamkan. Kemudian pendinian seperti ini disadari dan dilanjutkan oleh generasi muda Islam yang su­dah benilmu dan berakhlak bagaikan akhlaknya Rasulullah Saw.

Kelimabelas
Pensaudaraan yang dibina Rasulullah antana kaum Muhajirin dan Anshar adalah juga merupakan kenyataan dan keadilan Islam yang berpnikemanu­siaan bermoral dan konstruktif. Kaum Muhajinin telah meninggalkan negeni kelahirannya dengan tidak membawa hanta benda, sedangkan kaum Anshan nata-rata merupakan orang-orang kaya dengan hasil pertanian dan industri.
Oleh karena itu pantaslah jika mereka turun tangan mengatasi kesulitan-kesulitan yang didenita oleh saudara-saudaranya yang Muhajinin, baik perbuatan yang berkeadilan sosial, yang melebihi keadilan sosial yang diajankan oleh Islam dan dipraktekkan oleh Nabi Saw ini?
Atas dasar di atas dapatlah dikatakan, onang­orang yang mengingkari adanya keadilan sosial dalam Islam, adalah onang yang memutarbalikkan fakta setidak-tidaknya, benmaksud agar ajaran ini ditinggalkan sedikit demi sedikit, atau agar orang
yang belum memeluknya sama sekali menjadi tidak senang kepadanya. Kalau orang yang mengingkan­nya itu adalah onang Islam sendini, maka pastilah mereka itu onang yang jumud (tidak mengerti) yang tidak suka akan kata “keadilan sosial” itu saja. Sejarah telah membuktikan hal ini, Nabi Saw. sendiri telah menegakkannya dan sekaligus menjadikannya landasan bagi berdininya masyarakat dan negara Islam yang dipimpinnya sendini.
Keenambelas
Dalam piagam persaudaraan antara kaum Muhajinin dan kaum Anshar, di satu pihak, dan piagam kenjasama antara kaum Muslimin dengan non Muslim di lain pihak, terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan Daulah Islamiyah itu ditegakkan di atas pninsip keadilan, asas hubungan antara Muslimin dan non Muslimin adalah perdamaian. Dalam piagam tersebut ditegaskan pula kebenanan, keadilan, gotong royong dalam kebaikan dan dalam mengikis segala akibat yang ditimbulkan oleh ke­mungkaran, yang telah melanda masyanakat menu­pakan thema-thema yang selalu dibawa oleh agama Islam. Daulah Islamiyah itu, dimana dan kapan pun adanya, haruslah ditegakkan di atas pninsip-prinsip yang sebenar-benarnya dan seadil-adilnya. Pninsip­pninsip dimaksud tentulah yang terbaik di antana prinsip-pninsip kenegaraan yang ada dan dipnaktek­kan dewasa ini.  Usaha-usaha masyarakat Islam ada­lah sangat relevan dengan penkembangan pemikiran
manusia tentang kenegaraan, hal mana masyarakat Islam sendiri harus mencontoh ajaran Islam sendini.
Di negeri Islam, kaum Muslimin tetap dilarang mengganggu kawan-kawannya yang non Muslim, dilarang menganggu gugat keyakinan lain itu dan dilarang memperkosa hak-hak mereka. Mengapa orang-orang masih tidak setuju memberlakukan hukum Islam di negerinya masing-masing, padahal hukum Islam ii cukup adil, benar, kokoh, memen­tingkan keadilan sosial yang berasaskan persau­daraan, cinta mencintai dan tolong menolong?
Kepada selunuh umat Muslimin patutlah dipe­ningatkan, penjajahan, dalam segala bentuk dan manifestasinya, tidaklah akan terkikis habis, melain­kan dengan cara menerapkan Islam. Inilah inti perjuangan kita semua dewasa ini.
Perhatikan firman Allah berikut ini:
                                 

“Sekinanya penduduk negeri sudah beniman dan bentaqwa, pastilah akan Kami limpahkan kepadanya kebenka tan dan langit dan bumi.” (Al-A’raf: 96)
                         ~                                                    .
“Dan yang Kami penintahkan ini adalah jalan yang lurus, maka tunutilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, kanena jalan-jalan yang lain itu mencerai-benaikan kamu dan membelokkan dan jalan­Nya.” (Al-An’am: 153)
     



“Dan siapa saja yang bentakwa kepada Allah, niscaya Dia dican membenikan jalan keluan. Dan membeninya rezki dan jalan yang tiada disangka-sangka, dan siapa saja yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Ia akan mencukupkan kepenluan nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan u rusa n yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah men gadakan ketentuan bagi segala sesuatu.” (At-Thalaq: 2-3)
                             4’                                              ~                    4-•.~ ~                           

“Dan siapa saja yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia, menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (At-Thalaq: 4)